A. Prinsip Pencegahan Infeksi
1. Pengertian Infeksi
Infeksi
adalah invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang mampu
menyebabkan sakit. Jika mikroorganisme gagal menyebabkan cedera yang
serius terhadap sel atau jaringan, infeksi ini disebut asimptomatik.
Penyakit timbul jika patogen berbiak dan menyebabkan perubahan pada
jaringan normal. Jika penyakit infeksi dapat ditularkan langsung dari
satu orang ke orang lain, penyakit ini merupakan penyakit menular atau contagius (Perry, 2005: 933).
Tindakan
pencegahan infeksi (PI) tidak terpisah dari komponen- komponen lain
dalam asuhan selama persalinan persalinan dan kelahiran bayi. Tindakan
ini harus diterapkan dalam setiap aspek asuhan untuk melindungi ibu,
bayi baru lahir, keluarga, penolong persalinan, dan tenaga kesehatan
lainnya dengan mengurangi infeksi karenabakteri, virus, dan jamur.
Dilakukan pula untuk mengurangi risiko penularan penyakit-penyakit
berbahaya yang hingga kini belum ditemukan dengan cara pengobatannya,
seperti misalnya HIV/AIDS (APN, 2007: 7).
2. Patofisiologi Infeksi
Reaksi
pertama pada infeksi adalah reaksi umum yang melibatkan susunan saraf
dan sistem hormon yang menyebabkan perubahan metabolik. Pada saat itu
terjadi reaksi jaringan limforetikularis di seluruh tubuh berupa
proliferasi sel fagosit dan sel pembuat antibodi (limfosit B).
Reaksi
kedua berupa reaksi lokal yang disebut inflamasi akut. Reaksi ini terus
berlangsung selama masih terjadi pengrusakan jaringan oleh trauma. Bila
penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas, sisa jaringan yang rusak
disebut debris akan difagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi
resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit
kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu
rongga membentuk abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh lain
membentuk flegmon.
Trauma
yang hebat, berlebihan dan terus-menerus menimbulkan reaksi tubuh yang
juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan
pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang
rusak. Fase ini disebut fase organisasi. Bila dalam fase fase ini
pengrusakan jaringan terhenti, akan terjadi fase penyembuhan melalui
pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Akan tetapi bila pengrusakan
jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan
sembuh bila rangsang yang merusak hilang.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi terjadinya Infeksi
Semua
manusia rentan terhadap infeksi bakteri dan sebagian virus. Jumlah
organisme yang dapat menyebabkan infeksi pada pejamu yang rentan berbeda
pada setiap lokasinya, jika organisme bersentuhan dengan dengan kulit,
risiko infeksi rendah. Jika organisme bersentuhan dengan selaput lendir
atau kulit yang terkelupas maka risiko infeksi meningkat (Tietjen,
2004: 1-8). Faktor-faktor yang mempengaruhi Proses Infeksi menurut Azis
Alimul Hidayat (2006: 134) adalah:
a) Sumber Penyakit
Sumber penyakit dapat mempengaruhi apakah infeksi dapat berjalan cepat atau lambat.
b) Kuman penyebab
Kuman penyebab dapat menentukan jumlah mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dan virulensinya.
c) Cara Membebaskan dari Sumber Kuman
Cara
membebaskan kuman dapat menentukan apakah proses infeksi cepat atau
teratasi atau diperlambat seperti tingkat keasaman (pH), suhu,
penyinaran, dan lain-lain.
d) Cara Penularan
Cara penularan seperti kontak langsung, melalui makanan atau udara, dapat memyebabkan penyebaran kuman ke dalam tubuh.
e) Cara masuknya Kuman
Proses
penyebaran kuman berbeda, tergantung dari sifatnya. Kuman dapat masuk
melalui saluran pencernaan, saluran pernafasan, kulit, dan lain-lain.
f) Daya Tahan Tubuh
Daya
tahan tubuh yang baik dapat memerlambat prosses infeksi atau
mempercepat prosespenyembuhan. Demikian pula sebaliknya, daya tahan
tubuh yang buruk dapat memperburuk proses infeksi.
Sedangkan
menurut Potter (2005: 933) adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi
akan terjadi. Perkembang biakan infeksi terjadi dalam siklus yang
bergantung pada elemen-elemen berikut ini:
a) Agens infeksius
b) Tempat atau sumber pertumbuhan patogen
c) Portal keluar dari tempat tumbuh tersebut
d) Cara penularan
e) Portal masuk ke pejamu
f) Pejamu yang rentan.
Infeksi
dapat terjadi jika rantai ini tetap berhubungan. Tenaga kesehatan
menggunakan kewaspadaan dan pengendalian infeksi untuk memutuskan rantai
tersebut sehingga infeksi tidak terjadi (Potter, 2005: 933).
4. Tanda-tanda Infeksi
Tubuh
memiliki pertahanan normal terhadap infeksi. Flora normal tubuh yang
tinggal di dalam dan luar tubuh melindungi seseorang dari beberapa
patogen. Setiap sistem organ memiliki mekanisme pertahanan yang
mempertahankan terhadap paparan mikroorganisme infeksius (Perry, 2005:
937).
Respons
selular tubuh terhadap cedera atau infeksi adalah inflamasi. Inflamasi
adalah reaksi protektif vaskuler dengan menghantarkan cairan, produk
darah, dan nutrien ke jaringan interstisial ke daerah cedera. Tanda
inflamasi termasuk bengkak, kemerahan, panas, nyeri atau nyeri tekan,
dan hilangnya fungsi bagian tubuh yang terinflamasi. Bila inflamasi
menjadi sistemik, muncul tanda dan gejala lain, termasuk demam,
leukositas, malaise, anoreksia, mual, muntah, dan pembesaran kelenjar
limfe (Perry, 2005: 939).
a) Tanda-tanda Infeksi maternal
1) Tanda dini Infeksi
(a) Sedikit peningkatan suhu tubuh ibu
(b) Takikardia janin
(c) Perasaan tidak sehat
2) Tanda Lanjut Infeksi
(a) Perasaan tidak sehat
(b) Suhu tinggi
(c) Takikardia ibu dan/atau janin
(d) Kematian intrauterus
(e) Bayi yang tidak sehat saat dilahirkan
(f) Tanda non spesifik infeksi seperti malaise, sakit kepala, demam, atau mialgia
(g) Nyeri tekan uterus atau cairan/flour vagina berbau menyengat (Chapman, 2006: 212-213).
b) Tanda-tanda Infeksi pada saat Persalinan
1) Nadi cepat (110x/menit atau lebih)
2) Suhu lebih dari 38◦C
3) Menggigil
4) Air ketuban atau cairan vagina berbau (APN, 2007: 90)
5. Tujuan Pencegahan Infeksi
Infeksi
Nasokomial dan infeksi dari pekerjaan merupakan masalah yang penting di
seluruh dunia dan terus meningkat. Sebagian besar infeksi dapat dicegah
dengan strategi dan menaati praktik-praktik pencegahan infeksi yang
direkomendasikan (Tietjen, 2004: 1-2). Adapun tujuan pencegahan infeksi
dalam asuhan persalinan normal (APN, 2007: 1-2) adalah:
a) Meminimalkan infeksi yang disebabkan mikroorganisme (bakteri, virus, jamur).
b) Menurunkan resiko penularan penyakit yang mengancam jiwa (hepatitis dan HIV/AIDS).
6. Definisi Tindakan dalam Pencegahan Infeksi
Cara
paling mudah untuk mencegah penyebaran infeksi adalah membunuh
mikroorganisme ketika mereka berada di tangan, alat dan perabot seperti
tempat tidur pasien (Ester, 2005: 42). Cara efektif untuk membunuh
mikrooraganisme meliputi:
a) Asepsis atau teknik aseptik
Asepsis
atau teknik aseptik adalah semua usaha yang dilakukan dalam mencegah
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang mungkin akan menyebabkan
infeksi. Caranya adalah menghilangkan dan/atau menurunkan jumlah
mikroorganisme pada kulit, jaringan dan benda-benda mati hingga tingkat
aman.
b) Antisepsis
Antisepsis adalah usaha mencegah infeksi dengan cara membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit atau jaringan tubuh lainnya.
Antisepsis adalah usaha mencegah infeksi dengan cara membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit atau jaringan tubuh lainnya.
c) Dekontaminasi
Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa petugas kesehatan dapat menangani secara aman benda-benda (peralatan medis, sarung tangan, meja pemeriksaan) yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh. Cara memastikannya adalah segera melakukan dekontaminasi terhadap benda-benda tersebut setelah terpapar/terkontaminasi darah atau cairan tubuh.
Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa petugas kesehatan dapat menangani secara aman benda-benda (peralatan medis, sarung tangan, meja pemeriksaan) yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh. Cara memastikannya adalah segera melakukan dekontaminasi terhadap benda-benda tersebut setelah terpapar/terkontaminasi darah atau cairan tubuh.
d) Mencuci dan membilas
Mencuci
dan membilas adalah tindakan-tindakan yang dilakukan untuk
menghilangkan semua darah, cairan tubuh atau benda asing (debu, kotoran)
dari kulit atau instrumen.
e) Desinfeksi
Desinfeksi adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan hampir semua mikroorganisme penyebab penyakit pada benda-benda mati atau instrumen.
Desinfeksi adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan hampir semua mikroorganisme penyebab penyakit pada benda-benda mati atau instrumen.
f) Desinfeksi tingkat tinggi (DTT)
Desinfeksi
tingkat tinggi (DTT) adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan
semua mikroorganisme kecuali endospora bakteri, dengan cara merebus
atau cara kimiawi.
g) Sterilisasi
Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan semua mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), termasuk endospora bakteri pada benda-benda mati atau instrumen (APN, 2007).
Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan semua mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), termasuk endospora bakteri pada benda-benda mati atau instrumen (APN, 2007).
7. Tindakan Pencegahan Infeksi
Cara
efektif untuk mencegah penyebaran penyakit dari orang ke orang atau
dari peralatan ke orang dapat dilakukan dengan meletakkan penghalang di
antara mikroorganisme dan individu pasien atau petugas kesehatan.
Penghalang ini dapat berupa upaya fisik, mekanik ataupun kimia yang
meliputi pencucian tangan, penggunaan sarung tangan, penggunaan cairan
antiseptik, pemprosesan alat bekas pakai, dan pembuangan sampah.
a) Mencuci Tangan
Untuk
mencegah penularan infeksi kepada dirinya dan kliennya, para pelaksana
pelayanan KIA perlu mencuci tangannya sebelum memeriksa klien. Mencuci
tangan hendaknya menjadi suatu kebiasaan dalam melaksanakan pelayanan
sehari-hari (DepKes, 2000: 1).
Cuci
tangan adalah prosedur yang paling penting dari pencegahan penyebaran
infeksi yang menyebabkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir.
Tujuan cuci tangan adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis
dari perrmukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme (Tietjen,
2004).
Indikasi Cuci Tangan:
1) Sebelum melakukan kontak fisik secara langsung dengan ibu dan bayi baru lahir
2) Setelah kontak fisik dengan ibu dan bayi baru lahir
3) Sebelum memakai sarung tangan DTT atau steril
4) Setelah melepaskan sarung tangan
5) Setelah menyentuh benda yang terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh atau selaput mukosa lainnya.
Untuk mencuci tangan:
1) Lepaskan perhiasan di tangan
2) Basahi tangan dengan air bersih dan mengalir
3) Gosok
kedua tangan dengan kuat menggunakan sabun biasa atau yang mengandung
anti septik selama 10-15 menit (pastikan sela-sela jari digosok secara
menyeluruh). Tangan yang terlihat kotor harus dicuci lebih lama.
4) Bilas dengan tangan dengan air bersih yang mengalir
5) Biarkan
tangan kering dengan cara diangin-anginkan atau keringkan dengan kertas
tissu atau handuk pribadi yang bersih dan kering.
b) Penggunaan Sarung Tangan
Sarung
tangan digunakan sebelum menyentuh sesuatu yang basah (kulit tak utuh,
selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya), peralatan, sarung
tangan, atau sampah yang terkontaminasi (APN, 2007: 17).
Jika
sarung tangan diperlukan, ganti sarung tangan untuk menangani setiap
ibu atau bayi baru lahir untuk menghindari kontaminasi silang atau
gunakan sarung tangan yang berbeda untuk situasi yang berbeda pula (APN,
2007: 17). Menurut Tietjen (2004: 4-3) ada 3 jenis sarung tangan yaitu:
1) Sarung tangan bedah, dipakai sewaktu melakukan tindakan invasif pembedahan.
2) Sarung tangan pemeriksaan, dipakai unutk melindungi petugas kesehatan sewaktu melakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin.
3) Sarung
tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses peralatan, menangani
bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu membersihkan permukaan yang
terkontaminasi.
Tabel 2.1 Prosedur Tindakan yang memerlukan Sarung Tangan
Prosedur/Tindakan
|
Perlu Sarung Tangan
|
Sarung Tangan DTT
|
Sarung Tangan Steril
|
Memeriksa TD, temperatur tubuh atau menyuntik
|
Tidak
|
Tidak
|
Tidak
|
Menolong Persalinan dan Kelahiran bayi, menjahit laserasi/episiotomi
|
Ya
|
Bisa diterima
|
Dianjurkan
|
Mengambil contoh darah/pemasangan IV
|
Ya
|
Tidak
|
Tidak
|
Memegang dan membersihkan peralatan yang terkontaminasi
|
Ya
|
Tidak
|
Tidak
|
Membersihkan percikan darah atau cairan tubuh
|
Ya
|
Tidak
|
Tidak
|
Sarung
tangan sekali pakai lebih dianjurkan, tapi jika sarananya sangat
terbatas, sarung tangan bekas pakai dapat diproses ulang dengan
dekontaminasi, cuci dan bilas, desinfeksi tingkat tinggi atau
sterilisasi (APN, 2007: 18).
c) Penggunaan Teknik Aseptik
Teknik
aseptik membuat prosedur menjadi lebih mudah dan aman bagi ibu, BBL,
dan penolong persalinan (APN, 2007: 18). Teknik aseptik meliputi
penggunaan perlengkapan perlindungan pribadi, antisepsis, menjaga
tingkat sterilitas atau DTT.
1) Penggunaan perlengkapan perlindungan pribadi
Perlengkapan
pelindung pribadi mencegah petugas terpapar mikroorganisme penyebab
infeksi dengan cara menghalangi atau membatasi (kacamata pelindung,
masker wajah, sepatu boot atau sepatu tertutup, celemek) petugas dari
percikan cairan tubuh, darah atau cedera selama melaksanakan prosedur
klinik.
2) Antisepsis
Antisepsis
adalah pengurangan jumlah mikroorganisme pada kulit, selaput lendir,
atau jaringan tubuh lain dengan menggunakan bahan antimikroba (Tietjen,
2004: 6-2). Karena kulit dan selaput mukosa tidak dapat disterilkan maka
penggunaan cairan antiseptik akan sangat mengurangi jumlah
mikroorganisme yang dapat menkontaminasi luka terbuka dan menyebabkan
infeksi.
Larutan
antiseptik digunakan pada kulit atau jaringan, sedangkan larutan
disinfektan dipakai untuk mendekontaminasi peralatan atau instrumen yang
digunakan dalam prosedur bedah (APN, 2007: 19).
3) Menjaga tingkat sterilitas atau desinfeksi tingkat tinggi
Prinsip
menjaga daerah steril harus digunakan untuk prosedur pada area tindakan
dengan kondisi desinfeksi tingkat tinggi. Pelihara kondisi steril
dengan memisahkan benda-benda steril atau disinfeksi tingkat tinggi
(“bersih”) dari benda-benda yang terkontaminasi (“kotor”) (APN, 2007:
19).
d) Pemrosesan Alat Bekas Pakai
Dalam
mencegah penularan infeksi, terdapat tiga langkah pencegahan infeksi
yaitu dekontaminasi, pencucian, dan desinfeksi tingkat tinggi
(sterilisasi) (Depkes, 2000: 2).
1) Dekontaminasi
Dekontaminasi
adalah tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa petugas kesehatan
dapat menangani secara aman berbagai benda yang terkontaminasi darah
dan cairan tubuh. Peralatan medis, sarung tangan, dan permukaan harus
segera didekontaminasi segera setelah terpapar atau cairan tubuh.
Segera
setelah digunakan, masukkan benda-benda yang terkontaminasi ke dalam
larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Prosedur ini dengan cepat mematikan
virus hepatitis B dan HIV (APN, 2007: 22).
1) Cuci dan Bilas
Pencucian
dan pembilasan menghilangkan sebagian besar mikroorganisme pada
peralatan/perlengkapan yang kotor atau yang sudah digunakan. Baik
sterilisasi maupun DTT menjadi kurang efektif tanpa proses pencucian
sebelumnya. Jika benda-benda yang terkontaminasi tidak dapat dicuci
dengan segera setelah didekontaminasi, bilas peralatan dengan air untuk
mencegah korosi dan menghilangkan bahan-bahan organik, lalu cuci dengan
seksama secepat mungkin (APN, 2007: 24)
Sebagian
besar (hingga 80%) mikroorganisme yang terdapat dalam darah dan
bahan-bahan organik lainnya bisa dihilangkan melalui proses pencucian.
Pencucian juga dapat menurunkan jumlah endospora bakteri yang
menyebabkan tetanus dan gangren, pencucian ini penting karena residu
bahan-bahan organik bisa menjadi tempat kolonisasi miroorganisme
(termasuk endospora) dan melindungi mikrooraganisme dari proses
sterilisasi atau desinfeksi kimiawi (APN, 2007: 24)
Bola
karet penghisap tidak boleh dibersihkan dan digunakan ulang untuk lebih
dari satu bayi. Bola karet seperti itu harus dibuang setelah digunakan,
kecuali dirancang untuk dipakai ulang. Secara ideal kateter penghisap
lendir DeLee harus dibuang setelah satu kali digunakan; jika hal ini
tidak memungkinkan, kateter harus dibersihkan dan didesinfeksi tingkat
tinggi dengan seksama. Kateter urin sangat sulit dibersihkan dan
didesinfeksi tingkat tinggi. Penggunaan kateter dengan kondisi tersebut
diatas lebih dari satu ibu dapat meningkatkan risiko infeksi jika tidak
diproses secara benar (APN, 2007: 25).
2) Desinfeksi Tingkat Tinggi atau sterilisasi
Desinfeksi
adalah proses pembuangan semua mikroorganisme patogen pada objek yang
tidak hidup dengan pengecualian pada endospora bakteri. Merebus dan
mengukus merupakan metode desinfeksi tingkat tinggi yang paling
sederhana dan terpercaya namun desinfektan kimia dapat juga dipakai.
Efek desinfeksi tingkat tinggi hanya dapat dipertahankan selama 1 minggu
bila lebih dari itu maka peralatan tersebut perlu didesinfeksi kembali
sebelum dipergunakan (Depkes, 2000: 3).
Benda-benda
steril atau DTT harus disimpan dalam keadaan kering dan bebas debu.
Jaga agar bungkusan-bungkusan agar tetap kering dan utuh sehigga
kondisinya tetap terjaga dan dapat digunakan hingga satu minggu setelah
proses. Peralatan steril yang terbungkus dalam kantong plastik bersegel,
tetap utuh dan masih dapat digunakan hingga satu bulan setelah proses.
Peralatan dan bahan desinfeksi tingkat tinggi dapat disimpan dalam wadah
tertutup yang sudah didesinfeksi tingkat tinggi, masih boleh digunakan
dalam kisaran waktu satu minggu asalkan tetap kering dan bebas debu.
Jika peralatan-peralatan tersebut tidak digunakan dalam tenggang waktu
penyimpanan tersebut maka proses kembali dulu sebelum digunakan kembali
(APN, 2007).
Adapun macam-macam DTT adalah dengan cara merebus, dengan uap panas, dan dengan cara kimiawi.
(a) DTT dengan cara merebus
(1) Gunakan panci dengan penutup yang rapat
(2) Ganti air setiap kali mendesinfeksi peralatan
(3) Rendam peralatan di dalam air sehingga semuanya terendam di dalam air
(4) Mulai panaskan air
(5) Mulai hitung waktu saat air mulai mendidih
(6) Jangan tambahkan apapun ke dalam air mendidih setelah penghitungan waktu dimulai.
· Rebus selama 20 menit
· Biarkan peralatan kering dengan cara diangin-anginkan sebelum digunakan atau disimpan.
· Pada
saat peralatan kering, gunakan segera atau simpan dalam wadah
desinfeksi tingkat tinggi berpenutup. Peralatan bisa disimpan sampai 1
minggu asalkan penutupnya tidak dibuka (APN, 2007: 26).
(b) DTT dengan uap panas
Setelah
sarung tangan didekontaminasi dan dicuci, maka sarung tangan ini siap
untuk DTT menggunakan uap panas (jangan ditaburi talk).
(1) Gunakan panci perebus dengan tiga susun nampan pengukus.
(2) Gulung bagian atas sarung tangan sehingga setelah DTT selesai sarung tangan dapat dipakai tanpa membuat terkontaminasi baru.
(3) Letakkan
sarung tangan pada nampan pengukus yang berlubang di baawwahnya. Agar
mudah dikeluarkan dari bagian atas nampan pengukus, letakkan 5-15 pasang
sarung tangan bagian jarinya mengarah ke tengah nampan.
(4) Ulangi
proses tersebuthingga semua nampan pengukus terisi sarung tangan. Susun
tiga nampan pengukus di atas panci perebus yang berisi air. Letakkan
sebuah panci perebus kosong di sebelah kompor.
(5) Letakkan penutup di atas di atas nampan pengukus paling atas dan panaskan air hingga mendidih.
(6) Jika
uap mulai keluar dari celah-celah antara panci pengukus, mulailah
penghitungan waktu. Kukus sarung tangan selam 20 menit, buka tutup panci
dan letakkan dalam posisi terbalik. Angkat nampan pengukus paling atas
yang berisi sarung tangan dan goyangkan perlahan-lahan agar air yang
tersisa pada sarung tangan dapat menetes keluar.
(7) Biarkan
sarung tangan kering dan diangin-anginkan sampai kering di dalam nampan
selama 4-6 menit. Jika diperlukan segera. Biarkan sarung tangan menjadi
dingin selama 5-10 menit dan kemudian gunakan dalam waktu 30 menit pada
saat masih basah atau lembab.
(8) Jika
sarung tangan tidak akan segera dipakai, setelah kering, gunakan
penjepit untuk memindahkan sarung tangan. Letakkan sarung tangan
tersebut pada wadah desinfeksi tingkat tinggi lalu tutup rapat. Sarung
tangan tersebut bisa disimpan selama 1 minggu.
(c) DTT dengan cara kimiawi
Bahan
kimia yang dianjurkan untuk DTT adalah klorin dan glutaraldehid. Klorin
tidak bersifat korosif dan proses DTT memerlukan perendaman selama 20
menit maka peralatan yang sudah didesinfeksi tingkat tinggi secara
kimiawi harus segera dibilas dengan air matang.
Penggunaan
tablet formalin sangat tidak dianjurkan. Formaldehid/formalin adalah
bahan karsinogenik sehingga tidak boleh digunakan.
Langkah-langkah kunci pada DTT kimiawi:
(1) Letakkan peralatan dalam keadaan kering (sudah didekontaminasi dan cuci bilas).
(2) Pastikan bahwa peralatan terendam seluruhnya dalam larutan kimia.
(3) Rendam peralatan selama 20 menit.
(4) Bilas peralatan dengan air matang dan angin-anginkan sampai kering di wadah DTT yang berpenutup.
(5) Setelah kering, peralatan dapat segera digunakan atau disimpan dalam wadah DTT yang berpenutup.
Sedangkan
sterilisasi merupakan upaya pembunuhan atau penghancuran semua bentuk
kehidupan mikroba yang dilakukan di rumah sakit melalui proses fisik
maupun kimiawi (Hidayat, 2006: 141).
Sterilisasi
dengan menggunakan otoklaf dilakukan pada suhu 106kPa/ 121◦C selama 30
menit jika terbungkus, dan 20 menit jika tak dibungkus. Jika sterilisasi
dilakukan dengan uap kering maka dilakukan pada suhu 170◦C selam 60
menit.
a) Pembuangan Sampah
Sampah
merupakan suatu bahan yang berasal dari kegiatan manusia dan sudah
tidak dipakai atau sudah dibuang oleh manusia. Menurut Azis Alimul
Hidayat (2006: 144), sampah dibagi menjadi menjadi tiga, yaitu sampah
padat, cair, dan gas.
Sampah
bisa terkontaminasi dan tidak terkontaminasi. Sampah yang tidak
terkontaminasi tidak mengandung risiko bagi petugas yang menanganinya.
Tetapi sebagian besar limbah persalinan dan kelairan bayi adalah sampah
terkontaminasi. Jika tidak dikelola dengan benar, sampah terkontaminasi
berpotensi untuk menginfeksi siapapun yang melakukan kontak atau
menangani sampah tersebut termasuk angggota masyarakat. Sampah
terkontaminasi termasuk darah, nanah, urin, kotoran manusia dan
benda-benda yang kotor oleh cairan tubuh. Tangani pembuangan sampah
dengan hati-hati
Tujuan pembuangan sampah secara benar adalah
(1) Mencegah penyebaran infeksi kepada petugas klinik yang menangani sampah dan kepada masyarakat
(2) Melindungi petugas pengelola sampah dari luka atau cedera tidak sengaja oleh benda-benda tajam yang sudah terkontaminasi.
Penanganan
sampah terkontaminasidengan tepat diprlukan untuk meminimalkan
penyebaran infeksi ke personel rumah sakit dan masyarakat. Penanganan
dengan tepat berarti:
(1) Memakai sarung tangan serba guna.
(2) Membuang sampah padat yang terkontaminasi ke ke tempat sampah wadah tertutup.
(3) Membuang semua benda tajam dalam wadah anti bocor.
(4) Membuang sampah cair dengan hati-hatike saluran atau toilet yang dapat disiram.
(5) Membakar atau membakar sampah padat yang terkontaminasi.
(6) Mencuci tangan, sarung tangan, dan wadah setelah membuang sampah infeksi (Yulianti, 2005: 23-23).
Tindakan-tindakan
PI dapat mencegah mikroorganisme berpindah dari 1 individu ke individu
lainnya (ibu, bayi baru lahir, dan para penolong persalinan) sehingga
dapat memutus rantai penyebar infeksi.
1. Pencegahan Infeksi dalam Pertolongan Persalinan
Pencegahan
infeksi adalah bagian essensial dari semua asuhan yang diberikan kepada
ibu dan bayi baru lahir dan harus dilaksanakan secara rutin pada saat
menolong persalinan dan kelahiran bayi, saat memberikan asuhan selama
kunjungan antenatal atau pascapersalinan/bayi baru lahir atau saat
menatalaksana penyulit (APN, 2007).
Persalinan
pervaginam tidak memerlukan keadaan aseptik seperti kamar bedah, namun
memerlukan pendekatan “3 bersih”, yaitu membuat tangan, area perineal,
dan area umbilikalis bersih selama dan sesudah persalinan. Kit
persalinan yang bersih akan membantu memperbaiki keamanan persalinan di
rumah untuk ibu dan bayi baru lahir (Prawirohardjo, 2008).
Persalinan
pervaginam berhubungan dengan sejumlah faktor yang meningkatkan risiko
terhadap endometritis dan infeksi saluran kencing. Termasuk ketuban
pecah lama, trauma jalan lahir, pengeluaran plasenta secara manual,
episiotomi, dan persalinan forseps tengah. Faktor lain yang berhubungan
dengan peningkatan risiko maternal adalah pemeriksaan dalam atau
pemeriksaan vagina. Untuk mengurangi risiko ini perlu dilakukan hal-hal
sebagai berikut:
1) Menggunakan
sepasang sarung tangan periksa yang bersih atau sarung tangan bedah
yang didesinfeksi tingkat tinggi yang sudah diproses ulang untuk setiap
pemeriksaan.
2) Hindari
mendorong ujung jari pemeriksa pada pembukaan serviks sampai persalinan
aktif terjadi atau sampai diputuskan untuk melakukan induksi
persalinan.
3) Batasi pemeriksaan dalam.
Boyle (2008: 156) mengemukakan Prosedur Pencegahan Infeksi dalam Pertolongan Persalinan meliputi:
1) Teknik aseptik
Teknik
aseptik atau asepsis adalah suatu metode pencegahan kontaminasi dengan
hanya membiarkan cairan, instrumen, yang steril untuk kontak dengan area
yang rentan. Risiko kontaminasi melalui udara juga harus diturunkan.
Teknik aseptik dipraktikkan sejak awal 1990-an, dan merupakan bagian
penting dari banyak praktik kebidanan.
2) Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan
dalam berpotensi menularkan patogen dari luar tubuh ke bagian atas
vagina, serviks, dan jika ketuban pecah langsung ke interior uterus dan
ke janin. Sangat penting untk memastikan bahwa semua pemeriksaan dalam
dilakukan dan tidak hanya sebagai suatu prosedur rutin, untuk
meminimalkan risiko ini.
3) Kateter Urie (Foley)
Kateter
urine menjadi salah satu peralatan kebidanan yang lumrah digunakan pada
praktik saat ini baik sebagai kateter sementara maupun sebagai kateter
foley yang menetap. Bakteri dapat masuk melalui kantong drainase dan
selang, terutama jika kantong tertarik ke atas dan ke bawah. Oleh karena
itu posisi kantong drainase harus lebih rendah dari kantong kemih dan
dekat dengan permukaaan lantai, serta tidak boleh tersumbat.
Tietjen
(2004) mengemukakan langkah-langkah yang dapat diambil utnuk
meminimalkan risiko infeksi selama persalinan dan kelahiran pervaginam
meliputi:
Langkah 1 : Yakinkan bahwa alat partus steril tersedia
Langkah
2 : Segera setelah pasien diposisikan untuk pelahiran pakai
sarung tangan pada kedua tangan dan cuci area perinael (vulva, perineum,
dan daerah anus) dengan sabun dan air bersih.
Langkah
3 : Cuci tangan yang masih memakai sarung tangan dalam larutan
klorin 0,5% lepaskan sarung tangan, tempatkan dalam kantong plastik atau
kontainer tertutup.
Langkah
4 : Cuci tangan dengan sabun dan air bersih dan keringkan dengan
kain bersih yang kering atau keringkan dengan udara.
Langkah 5 : Oleskan 5 ml antiseptik pencuci tangan pada tangan dan lengan, gosok sampai kering.
Langkah 6 : Pakai sarung tangan bedah steril atau DTT pada kedua tangan
Langkah
7 : Pakai alat pelindung termasuk apron plastik atau karet dan
pelindung muka karena terciprat darah atau cairan amnion yang berdarah
dapat terjadi.
Sesudah Melahirkan
Langkah
8 : Sebelum membuka sarung tangan, tempatkan semua barang yang
akan dibuang kedalam kantong plastik atau kontainer sampah yang tahan
bocor dan bertutup.
Langkah 9 : Jika episiotomi dilakukan atau ada robekan vagina atau perineum lakukan penjahitan.
Langkah
10 : Rendam kedua sarung tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, buk
sarung tangan dengan membaliknya, dan tempatkan dalam kantong plastik
atau kontainer sampah yang tahan bocor dan bertutup kalau mau dibuang.
Jika digunakan ulang, rendam di dalam larutan klorin 0,5% selama 10
menit untuk dekontaminasi.
Langkah
11 : Cuci tangan dengan sabun dan air kemudian keringkan dengan
kain kering atau dengan udara, atau pakailah anti septik gosok tangan
berbahan dasar alkohol yang tak berair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar